Dari kenek bus menjadi pendiri dan Direktur Perusahaan Dagang Hiber Jaya, itulah kisah Rudi Chandra (43). Perusahaan tersebut mengelola rumah potong ayam di Desa Lebakwangi, Kecamatan Walantaka, Kota Serang, Banten. Kepercayaan dan mutu produk benar-benar dia jaga sehingga usahanya semakin besar.
Seusai lulus Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, pada 1990, Rudi mengadu nasib ke Jakarta. Dia tinggal di rumah pamannya, di daerah Kampung Pulo, Jakarta Timur. Waktu itu, Rudi bekerja serabutan, mulai dari menjadi kenek bus kota, pedagang kaki lima, sampai pengemudi taksi.
”Saya jadi kenek bus karena berpikir kerja apa saja, asal jangan menganggur dan halal. Paling susah jika saya harus ketemu preman, pungli, dan bergelantungan di pintu bus,” tutur dia.
Untunglah Rudi belum pernah terlibat baku hantam karena dia biasanya mengalah. ”Saya jadi kenek bus sekitar tiga bulan. Saya tak bisa jadi sopir karena waktu itu belum bisa menyopir,” kata Rudi yang penghasilannya sebagai kenek bus hanya sebesar Rp 5.000 per hari.
Rudi pernah menjual jam tangan di Pasar Mester, Jatinegara, Jakarta. Selain itu, dia juga menjadi pengemudi metromini dan bus kota. Pendapatannya saat menjadi sopir meningkat menjadi Rp 15.000 per hari.
Meski penghasilannya minim, Rudi sudah berpikir jauh dengan meningkatkan kemampuan dirinya. Saat teman-temannya menghabiskan uang untuk bersenang-senang, dia mengambil kursus komputer selama delapan bulan. Rudi memegang prinsip, tidak ada yang tak mungkin untuk meraih masa depan lebih cerah.
”Saya ingin kehidupan yang lebih baik, maka saya mencari ilmu. Ilmu itu tidak akan habis. Berkat kursus komputer, saya diterima bekerja di pabrik keramik pada tahun 1995,” ujar dia.
Pegawai
Rudi kemudian menjadi pegawai pengontrol mutu di pabrik di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Gajinya hanya Rp 4.600 per hari. Namun, dia merasa beruntung tinggal di mes pegawai sehingga tak perlu memikirkan biaya tempat tinggal. Di mes itulah, Rudi kerap melihat ayam-ayam potong yang diternakkan.
”Ada pegawai yang ternak kecil-kecilan. Saya lihat dalam 30 hari saja sudah panen. Ini lumayan untuk penghasilan tambahan, saya jadi tertarik,” ujar dia.
Rudi pun mencari lahan untuk membangun peternakan. Dia mendapat informasi dari pegawai lain, banyak lahan yang disewakan di daerah Serang, Banten.
Setelah menjadi pegawai selama beberapa bulan, Rudi memutuskan keluar. Dia ingin beternak ayam. Pada 1996, dengan berbekal uang Rp 3,5 juta dari pesangon ditambah tabungan, dia mendirikan kandang untuk 2.000 ayam dengan biaya Rp 1,9 juta. Dia menyewa lahan seluas 5.000 meter persegi.
”Sewa lahan itu dihitung berdasarkan jumlah ayam, besarnya Rp 100 per ekor. Waktu itu, saya belum dibantu pegawai karena uangnya tidak cukup,” ucap Rudi.
Panen pertamanya berlangsung setelah 35 hari. Penghasilan dari panen sebesar Rp 1,5 juta dia gunakan untuk membuat kandang lagi.
Krisis
Namun, hantaman krisis moneter tahun 1997 membuat Rudi bangkrut. Harga pakan serta bahan baku yang masih diimpor naik dua kali lipat. Sementara harga jual ayam potong tak berubah. Sewaktu masih beternak, pembayaran dari tengkulak juga lambat dia terima.
”Pembayaran (dari tengkulak) menunggu ayam habis dijual kepada para pedagang di pasar. Ini bisa sampai satu bulan baru lunas. Saya terpaksa harus sering mencari tengkulak,” kata dia.
Setiap bertemu pun, tengkulak membayar dia dengan mencicil. Setelah krisis mendera, Rudi terpaksa menyewakan kandangnya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sewa kandang itu besarnya Rp 250 per ayam. Selain itu, dia juga menjadi tukang bongkar muat sangkar ayam yang diangkut mobil.
”Selama enam bulan, saya bekerja seperti itu. Saya juga sempat menjadi sopir lagi. Tetapi para pedagang itu susah membayar kalau ayamnya belum laku. Saya lalu berpikir, lebih baik menjual daging ayam saja,” cerita dia.
Hari pertama menjadi pedagang, Rudi mempunyai stok 10 kilogram ayam. Namun, saat itu hanya sepotong paha yang laku terjual, seharga Rp 1.500.
”Waktu itu, relasi saya memang belum banyak. Saya berdagang di Pasar Ciruas, Kabupaten Serang, Banten. Pukul 04.30 pasar mulai ramai, saya berjualan sampai pukul 07.00,” kata dia.
Kepercayaan
Rudi memotong dan membersihkan sendiri ayam-ayam yang akan dijual. Dia menjaga kepercayaan pelanggan. Hanya dalam dua-tiga hari, pembayaran kepada para peternak bisa dia lunasi.
”Buat apa uang itu kita tahan hingga berhari-hari. Itu hak orang lain,” ujar Rudi.
Seiring dengan kemajuan yang dicapai, Rudi berhasil membeli minibus untuk kendaraan operasional seharga Rp 8,5 juta. Pelanggannya pun bertambah, tak hanya pembeli di pasar, tetapi juga penjual sayur, pemilik rumah makan, dan penjual pecel lele. Ayam tersebut dia jual dengan sistem jemput bola.
Ia mengantar ayam ke tempat para pembeli sehingga mereka bisa menghemat waktu, energi, dan biaya. Kualitas ayam pun dia jaga. Lewat usaha itu, Rudi bisa memberikan lapangan kerja bagi 10 orang.
”Ada karyawan yang setia bekerja dengan saya sejak usianya masih belasan tahun. Sekarang dia sudah punya tiga anak,” ujar Rudi.
Lama-kelamaan, semakin banyak konsumen yang juga memesan ayam hidup kepada dia. Tahun 2004, Rudi bisa menjual 1.200 ayam per hari dan separuhnya dari hasil penjualan di Pasar Ciruas. Permintaan yang terus bertambah membuat dia menyerahkan penjualan di pasar kepada pegawainya. Sementara Rudi berkonsentrasi sebagai pemasok.
Pinjaman
Dia lalu memberanikan diri mengajukan pinjaman kepada bank untuk mendirikan peternakan. Kandang yang sebelumnya dia sewakan dia pergunakan sendiri lagi.
”Sekarang, ada 17 lokasi kandang yang tersebar di Kabupaten Pandeglang, Serang, Lebak, dan Kota Serang,” kata Rudi.
Potensi yang bisa terus diraih dan semakin bertambahnya pelanggan membuat Rudi mengembangkan usaha dengan mendirikan Perusahaan Dagang (PD) Hiber Jaya pada 2011. Produk yang dia jual adalah ayam beku dan ayam hidup. Sekitar 30 truk milik konsumen setiap hari hilir mudik ke tempat usahanya untuk mengangkut ayam.
Daya angkut setiap truk itu minimal 1.000 ayam. Kini, Rudi mampu menyalurkan sekitar 30.000 ayam per hari yang didistribusikan ke Banten, Jakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, sampai Kalimantan. Dia pun memiliki mitra sekitar 100 peternak mandiri dan 20 perusahaan.
”Jumlah karyawan di sini hampir 200 orang. Mereka tersebar di rumah potong ayam, kandang, dan pasar. Sebagian besar karyawan kami adalah warga sekitar sini,” kata Rudi yang memiliki tujuh truk dan dua mobil boks untuk operasional usaha.
Omzet usahanya mencapai miliran rupiah per bulan. ”Tetapi bukan itu yang penting, yang lebih penting adalah kita bisa membuktikan bahwa tidak ada hal yang tidak mungkin kalau kita mau berusaha,” tegas Rudi.
comments