Pertanyaan Bocah Pada Ayahnya Tentang Kebaikan

Karya: Neno Wasian

Adalah Budi, seorang bocah berusia tidak lebih dari sepuluh tahun. Seorang bocah aktif dan dinamis. Selalu bergerak, menjelajah. Mencungkil sampai kedalam sumsum dunia. Membuat guru, teman, ataupun keluarga, bingung mencari cara memuaskan hasratnya terhadap hidup.

arti-kebaikan

Namun berbeda dihari itu, ketika dia pulang sekolah dengan muka tertunduk. Lesu. Tiada pula seperti anak lainnya yang menangis. Dia hanya kurang bersemangat. Menarik langkah, hanya untuk menjejak di pintu rumah. Pulang. Gelagat aneh yang akan muncul, ketika dunia tidak cukup bercerita untuk dia hari ini.

"Ayah, bisa aku bertanya?" ujarnya saat selesai makan malam.

"Tergantung jawaban apa yang hendak kau dengarkan" Ayahnya menjawab.

"Aku hanya ingin pendapat saja" ujarnya lagi.

"Baik, lalu bagaimana pertanyaanmu?" Ayahnya berpaling.

"Menurut Ayah, baik itu seperti apa?"

Sejenak Ayahnya diam, mencoba mengolah pertanyaan yang menurutnya bagaimana bisa dipertanyakan oleh seorang anak yang belum genap sepuluh tahun. Walaupun sebenarnya Ayah Budi tak tahu, sedang berada dimanakah dia sekarang. Dengan hati-hati dia mencoba mencari tahu, bagaimana pertanyaan itu bisa terlintas di benak Budi. "Mengapa kau bertanya begitu?"

"Tadi, ibu guru menjelaskan bahwa kita harus berbuat baik, supaya kita bisa berguna buat bangsa dan negara, juga disayang tuhan dan orang tua. Caranya dengan menolong orang lain dan menegakkan keadilan."

Kemudian dia melanjutkan, "Misalnya ada pengemis, kita harus memberinya sedekah. Kalau misalnya ada orang tua mau menyebrang jalan, kita sebrangkanlah dia. Ketika ada teman yang menyontek, kita nasehatilah dia. Dan mencuri adalah perbuatan yang tidak baik."

"Betul apa yang dikatakan gurumu itu, lalu mengapa kau pertanyakan lagi baik itu seperti apa?" jawab ayahnya, sedikit senang. Karena merasa sedikit banyak Budi telah menjawab pertanyaannya sendiri.

"Tapi Yah, bukankah Ayah pernah bilang ada peraturan yang melarang memberikan uang bagi pengemis di jalanan? Berarti memberi uang kepada pengemis itu tidak baik dong?"

"Misalnya ada nenek-nenek mau nyebrang jalan, haruskah budi menyebrangkannya? Selama ini saja, Ayah dan Ibu tidak pernah mengizinkan Budi menyebrang jalan sendirian. Walaupun hanya jalan di dalam perumahan kita. Berarti budi tidak bisa melakukan perbuatan baik dong?"

"Kalau ada teman yang menyontek harus dinasehati, dan dibilangin gak boleh diulangin. Tapi kalau sampe dia gak buat PR, lalu dihukum guru, lalu nilainya jelek, gimana? Belum lagi kalo nanti dia dimarahin sama orang tuanya? lalu dipukul. Berarti kita membiarkan teman kita menerima perlakuan buruk, bukannya kekerasan oleh ayah atau ibu ke anak itu tidak baik? Walaupun nantinya hanya sekedar dimarahin. Tapi jadi pelajaran buat anaknya supaya selalu berhasil apapun usahanya. Bukankah itu juga tidak baik?"

"Lalu mencuri itu tidak baik. Lalu mengapa ibu cerita Robin Hood sebelum aku tidur? Terus kenapa om-om yang kemaren minta duit proyek sama Ayah? Bukannya Ayah cerita bahwa mereka itu orang-orang suruhan om-om perwakilan kita di pemerintah? Padahal kan Ayah cerita kalau saja uangnya secara keseluruhan bisa digunakan sepenuhnya untuk proyek, pakde yang punya sawah, bisa kayak kita hidupnya. Berkecukupan."

"Kalau kayak gitu, BAIK itu seperti apa Yah?" ujar Budi, menyelesaikan penjelasan panjang lebarnya.

Sang Ayah hanya bisa diam, sanggupkah dia membuat mengerti anak sekecil Budi. Bahwa mengemis dijalanan sudah menjadi profesi, sehingga memang harus ada yang melarang. Walaupun kenyataannya, yang melarang tidak memberikan alternatif pekerjaan lain bagi mereka yang mengemis.

Bahwa menolong orang lain itu betul, tapi harus kita sesuaikan dengan kapasitas. Bagaimana mungkin membiarkan seorang anak kecil dan seorang tua menyebrang jalan, sedangkan pengendara kendaraan bermotor saja belum bisa menaati rambu-rambu lalu lintas. Petugas keamanan pun antara ada dan tiada mengamankan.

Bahwa menyontek itu plagiasi, sesuatu yang tidak etis secara moral. Namun bangsa ini hidup dari membajak. Bukan hanya karena tidak adanya saluran pekerjaan lain. Tapi juga kelebihan dan kreasi mereka hanya dipandang sebelah mata oleh sistem. Nanti, ketika suatu hari kelebihan dan kreasi mereka yang membajak dibajak, baru sistem tersadar. Sebentar. Kemudian melupakan lagi.

Bahwa ada sebuah nilai yang tertanam, bahwa kebanggaan adalah sesuatu yang dikejar. Apapun caranya. Seberapapun resikonya. Namun bukan sebuah kebanggaan substantif, yang melalui sebuah proses. Tapi sebuah kebanggaan instan, yang dicapai melalui jalan pintas. Toh, bangganya tetap sama. Berpendidikan, berkuasa dan kaya.

Bahwa dunia ini, tidaklah hanya berada pada dua sisi yang berlawanan saja. Baik dan buruk. Namun semuanya tertanam pada kesadaran inti daripada manusia itu sendiri. Nilai apa yang ingin mereka raih. Kemanakah tujuannya. Akan tetapi, hal itu yang sedang terlewatkan, dilupakan. Sekarang ini.

Sekarang dia harus menghadapi bocah ingusan yang dengan tega mempertanyakan sesuatu yang dirinya sendiripun belum mengerti benar. Bagaimana dia harus menjelaskan kemudian. Dia diam.

Melihat ayahnya diam, sang bocah sudah sibuk dengan mainan tokohnya lagi. Dia tidak melupakan, melainkan hanya teralihkan, sejenak. Dia sedang berimajinasi menjadi pembela kebenaran yang sedang berebut kuasa dengan penjahat.

Sebuah pemikiran polos. Yang mengandaikan pembela kebenaran dan penjahat harus selalu berhadapan. Padahal bisa saja dua atau lebih pembela kebenaran sedang bertarung memperebutkan siapa yang lebih berhak berkuasa menangkap penjahat. Namun dia belum terpikirkan.

Sesekali matanya mengerling pada Ayahnya yang tetap diam di pojok meja makan. Berpangku tangan memperhatikan ulah si bocah. Keduanya sudah tenggelam dalam dunianya masing-masing. Memisahkan diri dalam imajinasi yang berbeda, merangkai cara berkomunikasi. Namun sial, mereka tertunda untuk saling mengerti.

***

Memang dunia terkadang terlampau aneh untuk dipikirkan. Bagaimana dengan Anda? punya jawaban bijak untuk hal ini?


comments

TOP